Rabu, 27 Juni 2018

Semesta Belum Mengijinkan

Setelah sekian lama dinantikan, perjalanan panjang yang bikin kangen rumah akhirnya datang juga dipertemukan. Seperti biasa aku perkenalkan team perjalanan dulu, ada 6 orang, 3 cewe dan 3 cowo. Ada ambon, tacul, gadis, vivi dan satu teman yang belum pernah trekking panjang, wahyu. Tanggal 19 Juni 2018 tepat 03.30 pagi kami berangkat dari Surabaya ke tempat perijinan Gunung Buthak, yang terletak di daerah Batu Malang. Singkat cerita sampai di pos perijinan kami mengurus administrasi dan sebagainya, 08.30 pagi kami mulai trekking. Jalur pendakian terhitung landai tapi juga lumayan ada bonus nanjak. Sempet nyuri-nyuri tidur di setiap istirahat perjalanan saking capeknya karena normal perjalanan trekking dari pos pendakian menuju puncak adalah 12 jam.

Jejer kaya lagi antri BPJS

Kami semua yang belum tidur ini melakukan perjalanan panjang dengan semangat akan bayangan ngecamp di savanna ditiupkan angin yang membelai daun telinga. Jam 4sore , kabut mulai turun dan gerimis. Rombongan kami terpisah, 3 perempuan ini tertinggal di belakang sedangkan 3 rombongan lain berjanji mendirikan tenda duluan dan menyiapkan minuman hangat di savanna. Manusia merencanakan dan memang tuhan yang menentukan, hujan mulai deras dan kami yang mengaku perempuan waterproof memutuskan berhenti di pinggir vegetasi. Alhamdulillah diantara kami bertiga ada satu yang bawa jas hujan. Pinter kan? Naik gunung tapi pada ga bawa jas hujan. Satu mantel kelelawar untuk 3 orang cukup membuat lengan kemeja kami basah. Bukan hanya hujan, tapi suara angin yang berteriak dari jurang sebelah vegetasi membuat kami bangkit berjalan. Gadis sempet nyeletuk “Kita mati kalo diem disini terus”, akhirnya aku ngomong “Kita lanjut aja jalan, at least we die trying” tsaaah lebay banget kaya pilem 5milimeter. Lanjutlah kita jalan kaya main barongsai di rawa-rawa bertiga. 10 menit jalan hujan tambah deres, kabut mulai mengganggu penglihatan. Begitu liat tanah lapang, kami bertiga nekat mau bikin tenda darurat. Gadis mulai nurunin carrier nya, ga lama ada suara cowo teriakin nama vivi. Selagi vivi sama gadis bangun tenda, aku lari cari sumber suara tadi. Iya, hujan-hujanan dan becek-becekan. Sepatu udah kaya gayung kamar mandi penuh isi air. Samar-samar keluarlah 3 cowo-cowo ini dari kabut. Wahyu yang noob, basah kuyup, pinternya dia juga packing kering. Ambon bilang mending berhenti di  tanah lapang belakang, dan menghentikan perjalanan karena diatas kabut tebal plus badai. Bangun tenda cepet-cepetan, ngeresque tas karir, masang flysheet yang cuma punya 2 pasak  dan bikin teras tenda dari frame yang hampir patah. Bawa tenda 2 yang bisa di bangun cuma 1, 1 tenda untuk 3-4 orang ini di isi 6 orang. Waw, what a wonderful life. Di dalem tenda kedengeran jelas suara badai teriak-teriak, badan udah tremor, tulang linu semua. Kita nempel satu sama lain karena tendanya ngerembes. Waktu itu jam 6 sore, rasanya kaya udah kepengen cepet besok pagi, tiba-tiba udah kangen kasur rumah. Padahal jarang-jarang lagi main di hutan rindu kasur rumah. Jam 11 malem tiba-tiba semua senyap, akhirnya kami bisa bikin minuman hangat dan bikin makanan instan di lanjut tidur (sedikit) nyenyak.
Kabut yang dirindukan

Setengah tujuh pagi, berisik suara ambon dan gadis yang berantem masalah masak nasi. Cuaca cerah, Allah Maha Adil badai pasti berlalu dan besok akan baik-baik saja. Beberes bikin minuman hangat, kami menikmati makanan mewah; sayur sop, spaghetti Bolognese, bubur ayam, nugget, dan telor ceplok. Setelah malas-malasan dan menikmati sinar matahari akhirnya kami packing pulang, perjalanan ke puncak tidak bisa dipaksakan. Memang sedikit lagi kami sampai puncak, sedikit lagi juga kami hampir hilang tersesat atau bahkan hipotermia.

Sarapan mevvah

Satu pelajaran lagi kan di perjalanan? Tapi entah kenapa aku juga ngga menyesali, ngga kecewa, bersyukur aja masih bisa ngerasain dinginnya gunung, ngeliat pemandangan diatas awan, menikmati hangat sinar matahari yang gapernah dinikmati dibawah, yang paling penting, merindukan rumah. Toh, gunung Buthak ngga akan pindah.
Semakin jauh perjalanan yang kamu laluin, semakin banyak juga hal-hal yang kamu laluin semakin kamu ngerti bahwa rumah adalah sesuatu yang berharga. Baru ngeh ini pengalaman gabisa dibeli sama uang. Kalau sudah sama alam gabisa main-main. Ini tandanya semesta belum mengijinkan, berarti Gunung Buthak akan selalu dirindukan. Yang tadinya ngerasa this is never ending story (karena perjalanan yang berasa tanpa ujung) jadi happy ending story (karena kembali pulang dan cium tangan mama).

Senin, 21 Mei 2018

Every Journey Has Their Own Story

Lanjutan dari Lembongan ada Kenangan


Part 2

Pagi pukul 06.30 kami sudah berada di Pantai Tanjung Sanghyang buat nyebrang kembali ke Sanur. Ceritanya sambil hunting sunrise, tapi seperti biasa.. aku yang bukan manusia pagi cuma bisa duduk lemas di badukan pinggir pantai sambil ngeliatin Om Jack nyari spot foto bagus untuk diabadikan. Kata orang-orang kalo aku sudah lemas begini, ada yang kurang sesajennya hahahaha. Ohya, kebetulan pedanda juga hendak balik ke rumahnya di Klungkung dan kami memang akan kearah sana menawarkan diri untuk mengantar pedanda sampai rumahnya.
Jam 10 kami tiba di kediaman pedande di Klungkung Bali, begitu masuk saya terpesona sama vibes rumah beliau adem, tentram dan sangat asri. Jalan pelataran rumah berbentuk setapak  penuh dengan kerikil halus, samping-samping jalan setapak rumput-rumput terpapas rapih di hiasi pot kokoh dengan bunga teratai menghiasi. Dari belakang kami mengikuti  pedanda untuk ngopi sebentar.
Pak Kun seperti biasa, membicarakan adat Jawa Kuna dan apa-apa yang ada di kitab Jawa Kuna bersama Pak Mangku juga pedanda, benar-benar hal baru buatku. Kedua mata tidak berhenti menikmati pemandangan sedamai ini, kedua telinga juga tidak berhenti mendengarkan. Ah, andai saja pedanda buka pondok pesantren dirumahnya sudah dijamin aku jadi santri pertama hahahaha.  
Setelah berbincang, menikmati secangkir kopi dan tertawa sebahagianya kami harus berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Kami mampir ke rumah makan khas Bali untuk mengisi perut yang sudah gaduh.


Seperangkat Sate Lilit masuk ke perut

Sesampainya di Pidpid Karangasem kami take video pembuatan daun lontar. Kami disuguhi tuak khas daerah setempat, warna airnya seperti air cucian beras dan berbau busuk, terbuat dari air kelapa yang difermentasikan, katanya kalo minum tuak efeknya segar di badan dan tentu saja sedikit mabuk kalo kebanyakan. Kembali ke pembuatan daun lontar,  dari daun yang hijau direbus untuk menghilangkan klorofilnya menggunakan rempah-rempah lada butir, garam, pala dan yang lainnya untuk mengawetkan daun juga.
 
Kitab Sutasoma yang ditulis di daun lontar, properti milik museum 
Setelah di rebus beberapa jam menggunakan tungku tradisional, lalu lontar di jemur 2 hari dan di press menggunakan balok kayu yang sudah di desain sendiri untuk pressing daun lontar. Proses pressing membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membentuk daun lontar yang lurus seperti kertas, namun karena mempersingkat waktu di pres semalaman saja kemudian lanjut ke proses selanjutnya. Proses selanjutnya adalah merapikan pinggiran-pinggiran daun, di serut agar bentuknya persegi panjang sempurna. Setelah itu daun lontar siap di pasarkan ke penulis-penulis Jawa Kuna. Per lembar di beri harga 3000-4000 rupiah ke penulis dan dari penulis biasanya di hitung tiap baris tulisan atau tiap kalimat. Satu lembarnya bisa mencapai jutaan ribu rupiah. Sayangnya di Jawa sudah tidak ada lagi penulis daun lontar, coba saja ada sudah aku bisniskan ini hehe.

 
 semua tim yang terlibat di pengambilan video dokumenter

Jam 4 sore kami tiba di tempat pengambilan video selanjutnya, masih di kawasan Karangasem, sekarang kami ke tempat pengambilan daun lontar dari pohonnya. Pohonnya tinggi-tinggi seperti pohon kelapa. Sebelum memanjat, melakukan tradisi berdoa dulu dan harus menggunakan kain bali. Setelah itu ditumbangkan satu persatu daun-daunnya lalu dijual deh. Di sekian kalinya kami harus berpamitan lagi dan perjalanan harus dilanjutkan

Perjalanan selanjutnya kami mencari penginapan, karena hari akan segera berganti malam. Penginapan rombongan ku terletak di sebrang Pantai Amed, begitu kendaraan berhenti di penginapan kami (om Jack, mas Wisnu, aku dan mba Yusa) ngga pantang pulang sebelum lelah hahahah. Kami memindahkan tas ke kamar lalu lanjut lagi melihat matahari terbenam, belum puas  juga setelah bersih-bersih diri kami kembali ke Pantai Amed untuk mencari bintang untuk diabadikan. Bagian ini selalu menjadi favorit saya, membaca rasi bintang dan memperhatikan apa apa saja diluar sana. Bagaimana kalau ternyata diluar sana juga ada kehidupan? Bagaimana kalau ternyata mereka juga melihat kita sebagai bintang seperti yang kita lihat? Ngga ada henti saya mengucap syukur.

nahan napas 30 detik beb

Menu makan malam hari ini sate ayam dan nasi plus pisang sambil ngobrol dan ketawa lagi sebahagianya. Beres makan saya menuju kamar sebelah, saya melihat mas Wisnu sedang asyik dengan laptop dan memori kamera berserakan di mejanya, lagi asyik memindah data dan membicarakan komposisi foto bareng om Jack dan mbak Yusa. Saya masuk nyelonong ke kasur yang masih rapi nan menggiurkan, ada buku berjudul “Menyelami ABC Kehidupan bersama Kahlil Gibran”. Iseng, saya membaca buku itu lalu om Jack nyeletuk “wahh, kamu kok baca buku ku? Pokoknya harus pinter menata diri aja kalo mau baca buku ku”, “wahh challenge accepted” batin saya. Di pertengahan buku saya sadar kalo ternyata penulisnya atheis, jadi buku ini seperti buku-buku filsafat. Buku yang mempelajari keindahan kehidupan dan kematian bahkan kehidupan setelah kematian (reinkarnasi, yang ditulis di buku ini). Jadi lah saya diskusi dan sedikit debat sama om Jack tentang kehebatan cara berpikir manusia sebenarnya. Yang menarik adalah pemikiran om Jack tentang hidup dengan berbagai perbedaan. Dunia ini bukan hanya hitam dan putih, tapi ada warna pelangi. Dengan kadar yang cukup dari masing-masing warna maka kamu akan paham bagaimana indahnya kehidupan dan juga bukan melulu kehidupan yang dibahas. Kematian adalah sesuatu yang misterius, sama seperti cahaya yang bersumber dari lampu lalu dari saklar kamu mematikan cahaya itu. Apakah itu berarti energi dari lampu juga ikut mati?
Hestek mind blown hestek boom.
Sesederhana itu om Jack menganalogikan kematian. Dibanding saya yang selalu memaknai semua yang terjadi. Terlalu rumit.  Kayanya emang selalu ada saja yang bisa dipetik di setiap perjalanan, bukan kemananya tapi lebih ke bersama siapanya.
Jadi gimana? Apa pemahamanmu tentang kematian?


Tabik,


Sakinah

Jumat, 11 Mei 2018

Ada Kenangan di Lembongan


Part I

Nusa Lembongan, Mei 2018

            Mari kukenalkan rombongan perjalanan ini dulu, beranggotakan 7 orang yang pertama adalah Pak Kun, alasan perjalanan ini ada. Beliau bekerja di Museum Mpu Tantular Jawa Timur di bidang koleksi yang sedang memiliki proyek Film Dokumenter Pembuatan Daun Lontar. Daun Lontar yang bertuliskan Jawa Kuna dari beberapa kitab Hindu yang kebanyakan pembuatannya berada di Bali. Bu Ari adalah kolega Pak Kun yang secara otomatis teman baru bagi saya di perjalanan ini. Lalu ada mas Wisnu dan Om Jack yang saya kenal dari Generasi Pesona Indonesia Jawa Timur sekaligus pribadi yang saya kagumi dan saudara saya mba Yusa.
            Berangkat dari Surabaya jam 10 malam kita berangkat menuju Gili Ketapang, tiba jam setengah 9 pagi di Pelabuhan Gili Manuk lalu menuju Sanur untuk menyebrang lagi ke Nusa Lembongan. Tiba pukul 4 sore kami disambut Pak I Nyoman, seorang Mangku setempat dan penulis daun lontar. Diantar menuju homestay untuk bersih diri lalu kami diundang kerumahnya. Ternyata Pak Nyoman bukan hanya seorang Mangku, beliau juga penggiat seni teater, dan topeng pernah diberikan penghargaan juga oleh Gubernur Bali. Belum cukup disitu, rumah Pak Nyoman juga mengandung sejarah. Pernah denger Omah Gala-Gala?


Jangan salah fokus gaes



Rumah Gala-Gala adalah rumah bawah tanah yang di bangun oleh Made Byasa, kakek buyut dari Pak Nyoman. Rumah berukuran 500 m2 di bawah tanah memiliki 7 pintu masuk/keluar, 3 ventilasi, dilengkapi dengan sumur, 2 dapur, ruang keluarga, dan 2 ruang tidur di ujung rumah bawah tanah ini. Dibangun pada tahun 1961, Made Byasa yang adalah seorang penggiat seni dan budaya sangat terinspirasi oleh kisah Mahabaratha di bagian “Wana Parwa” menceritakan Pandawa yang hidup di tengah hutan dan merasa keselamatannya selalu terancam oleh Kurawa dan akhirnya Pandawa membangun goa yang diberi nama Gala-Gala. Bangunan ini dirampungkan pada tahun 1976, dapat dibuktikan ada symbol yang sengaja dibentuk seperti manusia, gajah, matahari dan kura-kura yang apabila di artikan adalah angka 1898 di dalam calender hindu atau 1976 di dalam kalender masehi.

 
2 Dapur
Begitu masuk ke Goa ini hawa dibawah tanah sangat sejuk dan lembab, saya jadi keingat bagunan bawah tanah yang ada di Turki yang terkenal itu. Selain itu juga ada patung Pak Made Byasa, pembuat Gala-Gala ini berdiri dengan kokoh tidak jauh dari Goa tadi. Harga tiket masuk turis lokal 10rb rupiah, berlaku 2x lipat untuk turis mancanegara.
Selesai dari kediaman Pak Nyoman kami mengejar matahari di pulau sebelah, Nusa Ceningan. Matahari Jingga ngga menampakkan warnanya karena kami salah spot hahaha. Ngga papa, untuk bertemu sore di tempat seperti itu juga keindahan. Singkat cerita kami pulang ke homestay untuk istirahat. 
            Waktu kami datang ke Nusa Lembongan, kebetulan ada yang baru saja meninggal dan akan menyelenggarakan upacara Ngaben, satu lagi daya tarik wisata Bali yang membuat saya selalu terkagum-kagum dengan pulau para Dewa ini. Ritual pertama yakni kidungan (kalo dalam Islam seperti tahlilan), kidungan adalah pemujaan terhadap dewa semalaman untuk mengantarkan jiwa yang sudah tiada menuju Nirwana. Menurut kepercayaan Bali semua ritual bersumber dari filsafat untuk akhirnya dimaknai (etika) dan dilaksanakan (upacara). Esoknya bambu berbentuk macan akan dipersiapkan, diberi do'a-do'a untuk mengiringi jenazah. Macan kemudian diarak diangkat banyak pemuda, para pemuda ini dikendalikan oleh spirit yang menuntun menuju tempat pembakaran.



Sambil lalu saya ngomong ke Om Jack betapa panasnya jenazah itu dibakar, belum lagi nanti waktu di neraka. Om Jack jawab “ngga ada neraka di pemahaman mereka, upacara sedemikian rupa itu menandakan keluarga yang berduka mengantarkan jenazah ke nirwana tempat kedamaian dan kebahagiaan yang sempurna, seperti surga, tempat tertinggi yang dapat dicapai seseorang, tempat pencerahan yang berarti hasrat dan penderitaan individu hilang”. Saya terdiam, tersadar disetiap keadaan manusia selalu memposisikan cara pandang sebagai dirinya sendiri bukan cara pandang ‘mereka’. Ah, wawasan baru lagi dan ilmu baru lagi saya selalu bersyukur untuk itu.
Kembali mengejar matahari jingga, kami semua menuju Nusa Ceningan dan mencari pemandangan dan ini yang kami temukan.
 
Blue Lagoon Nusa Ceningan


Dream Beach Nusa Lembongan

By the way, iya-iya saya langsung teriak begitu liat yang bening-bening begini..

Malamnya karena kami harus take video untuk bersama pak mangku dan pedanda jadi kami mempersiapkan diri dan semua peralatan di homestay.
Pak Mangku yang berkidung dan pedanda Ida Bagus mengartikan ke dalam bahasa Indonesia, kami mengangkat Bhineka Tunggal Ika dari Kitab Sutasoma. Ada beberapa kutipan dari kitab ini

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, 
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,      
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Yang artinya adalah
Konon Buddha dan Siwa adalah zat yang berbeda
Mereka memang berbeda, namun bagaimana mereka dikenali?
Sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal
Kebenaran tidak ada dua dan kita sesungguhnya di dunia ini tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain.

Suara yang dikidungkan begitu indah, pun pedanda menerjemahkan dengan kata-kata indah, Kitab Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena merupakan satu-satunya kitab yang menceritakan kepahlawanan yang bernafaskan agama Budha. Saya bisa menangis membaca terjemahan sastra Jawa Sutasoma ini, suatu hal yang bahkan uang tidak bisa mengganti nilai nya. Kitab Sutasoma ditemukan di Bali konon katanya ada yang menyelamatkan kitab ini dari Jawa lalu disimpan, dirawat oleh orang-orang Bali. Take video selesai jam 7 malam, karena besok kami akan pulang pagi-pagi sekali sekalian kami berpamitan dengan keluarga Pak Mangku Nyoman.

Nusa Lembongan yang jauh dari hingar-bingar kota
Pulau kecil dengan sejuta cerita
Tidak ada bosan yang berani hinggap dipikiran selama di Lembongan
Jika rumah adalah tempat dimana hati tertinggal
Sepertinya aku sudah menemukan rumah




Tabik,
Sakinah

Sabtu, 21 April 2018

Life after college


                Di pertengahan semester rasanya kaya udah pengen keluar dari dunia perkuliahan, gara-gara tugas membabi buta plus dosen yang kadang gak berperikemahasiswaan.. Di semester  tua rasanya kok tiba-tiba sudah lupa sama kelas di kampus, saking gapernah ngampusnya.. Ngeliat senior yang baru lulus bingung mau ngapain kok kayanya jadi makin ngga rela mau lepas status mahasiswi. Iya, ini curhatan pribadi. Seperti biasa, saya lebih memilih nulis di blog daripada ngerjain Tugas Akhir L
Walaupun sebenernya ada banyak pilihan, mau kerja, lanjutin kuliah, atau kalo udah ada pasangan yaaa berumah tangga. Karena asumsi masyarakat umum itu d3 adalah status pendidikan yang nanggung jadi ada yang lanjutin kuliah karena gengsi ada juga yang karena hobi belajar. Sedangkan kalo dilihat dari sisi dunia kerja, sebenernya perusahaan lebih memilih praktisi yang pengalaman pekerjaannya bisa dipertanggung jawabkan. D3 bisa akan lebih mahal harganya kalo pengalaman pekerjaannya memadai, daripada s1 yang ga ada pengalaman pekerjaan. Berbicara di dunia pariwisata, praktisi lebih banyak diminati perusahaan besar daripada orang-orang  yang selalu menggunakan teori.
Terus pilihan terakhir yang bagi beberapa orang ini kayak pilihan tabu di usia yang sangat belia (hehe), di usia-usia yang baru lulus kuliah ini. Ada yang menganggap pernikahan itu adalah penyempurna ibadah, ada yang menganggap pernikahan adalah goal dari hidup, ada juga yang menganggap nikah adalah solusi.. Im not judging for that karena memang pernikahan adalah hal baik. Tapi kalo nikah karena keresahan diri yang terjadi karena sudah banyak temen-temen yang nikah itu kayanya kalian salah pikir. Maannn, ga segampang itu menjadikan 2 otak manusia menjadi 1 visi demi menghadapi kehidupan bersama. Selama masih sendiri, belum ada komitmen sama orang lain ada baiknya kalian tau bahwa kalian worth the affection. Yang harus selalu ada dipikiran dan hati adalah, cintai dirimu sebelum kamu mencintai orang lain.
Sesuai judulnya life after college juga masa transisi menjadi pribadi yang lebih tanggung jawab sama diri sendiri, Jadi buat temen-temen yang ada di semester tua kaya saya sudah seharusnya mulai mikirin mau dibawa kemana masa depan diri kita ini.. Juga eksplore kemampuan kalian berkomunikasi, menciptakan lingkungan yang positif, belajar berpikir sebelum memutuskan sesuatu, berani menanggung resiko, ketemu pribadi orang yang macem-macem dan gimana menghadapinya di luar dunia perkuliahan. Dan satu lagi, perbanyak diskusi dan bertukar pendapat sama orang lain.
Kalo saya mungkin masih mau explore kemampuan diri di dunia pekerjaan, pengen tau sejauh apa saya bisa tahan, berapa harga tertinggi saya di dunia kapitalis ini hahaha.. Lakuin aja apa yang kalian suka selagi positif. Dulu waktu kecil cita-cita saya itu pramugari, semakin kesini cita-cita saya pokoknya bahagia apapun yang saya lakuin aja hahaha. Dewasa ini, semakin takut buat sekedar menikmati hidup. Kalau kamu?

Tabik,
Sakinah

Minggu, 31 Desember 2017

Idola atau kawan?

Saya mo bahas yang beda kali ini di blog. Mau bahas tentang karya2 fiersa besari. Kalo biodata doi, kayanya kalian bisa googling aja di internet. Disini saya mau bahas karakter tulisannya. Well, apalah saya cuma blogger amatir dan kutu buku keren yang sedikit cupu ini.. tapi biarlah wong ini blog saya sendiri ehehe.
Pertanyaan pertama. Siapakah Fiersa Besari? 
Doi adalah musisi, penulis juga traveller. Jejaka Bandung yang depan rumahnya adalah sekolahan SD dan yang saya tau, tahun kelahirannya ngga pernah tertulis di laman internet manapun.. itu yang saya masih pensaran hingga detik ini. Ngga apa-apa, mama saya bilang umur ngga masalah buat calon mantunya nanti ehe. 
Pertanyaan kedua. Apa karya yang dihasilkan? 
Banyak. Doi melahirkan 3 buku, banyak lagu dan video jurnal perjalanan di youtube. 
Mari di bedah pelan-pelan..
Buku pertamanya adalah Garis Waktu, kalo menurut saya disini doi masih cengeng sorry to say dia kelihatan rapuh, seolah-olah perempuan sudah meluluh lantakkan dunianya dan dia hanya bisa bergeming sembari menikmati kesakitan yg disamarkan. Saya kurang suka sama karya yang ini..
Buku kedua adalah Konspirasi Alam Semesta, mungkin karena buku ini memang sengaja dibuat untuk diterbitkan jadi alurnya lebih jelas.. pemilihan kalimatnya indah.. ada  selipan sindiran akan society nowadays itu juga saya suka.. seolah-olah ada yg mau disampaikan ke para pembaca. Saya menemukan sedikit eyang pramudya di buku  ini, juga sedikit karakter minke dan soe hok gie. Ngga tau ini bener apa engga, tapi saya rasa mas Fiersa nyampurin fakta realita sama imajinasinya.. Saya baca di dalam kereta jurusan Surabaya-Banyuwangi, setengah perjalanan saya lahap habis buku ini  dan by the way saya nangis hehe
Buku ketiga adalah Catatan Juang, engga se emosional yang kedua tapi sedikit banyak kalimat2 di buku ini merubah cara pikir saya. Pesan yang ingin disampaikan ke pembaca sudah tersampaikan secara sempurna. Entah hanya saya atau kalian juga, saya ngga bisa mengkotak2 kan genre. Bisa jadi itu fiksi, bisa jadi itu ada unsur sejarah, yaa terserah penulislah pokoknya.. Juang disini idola saya, saya yakin juga sosok Juang itu ada sosok mas Fiersa. Dari buku keduanya mas Fiersa sudah banyak menaruh karakter diri sendiri di dalam Juang. Tapi ngga tau lagi yaa, kan saya paham mas Fiersa berdasarkan apa yang dia ingin orang lain pahami tentang dirinya saja melalui video2 di internet. 
Sebenarnya saya takut mengidolakan seseorang, karena manusia mengecewakan. Saya takut ternyata saya mengidolakan permukaan laut saja, tanpa tau ada gunung es dibawah. Saya takut terlalu menyukai apa yang belum saya ketahui. Saya takut terlalu obsessed hingga menuntut. Bahkan mas Fiersa pernah posting kurang lebih doi ngomong “jangan jadikan saya idolamu, jadikan saya kawanmu” (now playing: Fiersa Besari-Friendzone). Bagaimana? Bisa dijelaskan seseorang yang belum pernah bersua, hanya paham melalui postingan instagram bisa menjadi kawan? 
Saya bukan seseorang yang akan berteriak histeris kok mas, paling cuma ngga kedip aja gitu entar kalo ketemu. Mungkin hal terbaik yang bisa dilakukan seorang penggemar ke idolanya adalah mendoakan. Hihi
Yaa karena itu saya bikin blog buat menumpahkan isi pikiran, mungkin sekaligus surat terbuka buat mas Fiersa ehehe. 
Oke itu menyedihkan, tapi lebih sedih lagi saya terlalu sering menulis untuk blog daripada menulis untuk Tugas Akhir. Baiknya saya sudahi saja disini, sebelum saya divonis nambah semester lagi sama dosen pembimbing. 
Salam cilukba!

Jumat, 17 November 2017

Ada Cinta di Desa Kemiren Banyuwangi

Tanggal 10 November kemaren aku berangkat menuju Banyuwangi dalam rangka Kongres Nasional Himpunan Mahasiswa Pariwisata Indonesia VII. Perjalanan kali ini aku barengan sama 6 orang lainnya delegasi dari kampus berangkat naik kereta ekonomi Probowangi yang berangkatnya paling awal jam setengah 5 pagi. Jadilah saya ga tidur haha. Setelah menempuh 5 jam yang perjalanan yang menyenangkan, sampailah kami di Stasiun Rogojampi dan dijemput sama LO dari kampus Poliwangi untuk menuju hotel kampus, Hotel Jinggo. Disambut ramah sama panitia, sampe saya nya deg deg an hahahah.
Begitu nyampe, kami langsung dikasih keperluan-keperluan kongres
Nah, hari pertama adalah pembukaan, selain pembukaan oleh ketua panitia pembukaan Kongres HMPI ke VII kami diajak ikut nonton dan duduk sebagai tamu di BEC (Banyuwangi Ethno Carnival) yang dihadiri oleh Bapak Arif Yahya selaku Menteri Pariwisata, Bapak Abdullah Azwar Arnas selaku Bupati Banyuwangi, dan Ibu Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat. Mengusung tema Majestic Ijen, pelaku festival ber kostum landskape ijen, blue fire dan belerang. Acara juga diisi teatrikal penambangan kawah ijen di jaman Kolonial Belanda, ada 200 penari Gandrung, dan buanyak lainnya.

Ini menggambarkan para penambang belerang di kawah ijen

Di hari kedua kami disibukkan sama jadwal kongres, di sini kami di harapkan dapat menumpahkan segala aspirasi mahasiswa pariwisata di seluruh Indonesia untuk ikut andil dalam memajukan Pariwisata Nasional. Pemaparan evaluasi kerja di periode jabatan sebelumnya juga di kritisi oleh delegasi daerah demi kemajuan organisasi ini. Yah dengan adat budaya yang berbeda tapi kami disini tujuannya sama.
Suasana sidang yang akhirnya berlanjut sampe jam 1 dini hari

Hari ke tiga , paginya kami Seminar Nasional yang di isi sama Ketua Umum ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), Direktur The Jungle Bogor dan Duta Pariwisata 2016. Jadwal sore hari adalah PILMAPI (Pekan Ilmiah Mahasiswa Pariwisata) yaitu lomba cerdas cermat, promosi pariwisata melalui video. Yang tentu saja waktunya aku mengganti waktu tidur ku yang sempet ke sita selama 2 hari selama kongres hehehe.
Hari keempat yang ditunggu. Kemana city tour di Banyuwangi kali ini? Ke Desa Adat Suku Osing, Kemiren Banyuwangi. Desa Kemiren merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Mayoritas penduduk desa adalah orang osing. Orang osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa, keturunan kerajaan Hindu Blambangan, berbeda dengan masyarakat Jawa, Madura dan Bali, hal ini bisa dilihat dari adat dan budayanya.

Begitu rombongan mahasiswa pariwisata Indonesia nyampe gang depan, kami di sambut sama Barong kemiren, di arak sampai ke tempat kami berkumpul.
Barong Kemiren
Barong Kemiren ini berbeda, sama Barong yang ada di Bali. Barong adalah Ratu dari binatang kupu-kupu cedung yang berukuran besar. Ada 2 penari yang menjalankan kostum barong ini, uniknya penari kedua hanya berjalan mengikuti penari pertama sambil ngintip lewat bolongan kecil di kain merah. Kata sesepuh penari Barong itu artinya bahwa apa-apa yang kita lakukan baik maupun buruk kita harus tetap ingat bahwa malaikat akan melihat dan mencatat amalan tersebut. Nah saya mikirnya malah, enak banget ya penari yang dibelakang gabut gitu wkwk. Senengnya belajar budaya itu hal sepele pun ada filosofinya..
Sampai ditempat berkumpul, kami disuguhi makanan khas Banyuwangi dan kopi Kemiren, ahh istimewa sekali
Yang bentuknya bulet itu kue kucur, rasanya manis gula jawa gitu, yang di lilit kaya ketupat itu lepet, trus yang dibungkus daun itu lupa apa namanya, pokoknya isinya itu tape ketan dibungkus daun jati. Dan yang terfavorit adalah kucur soalnya manis kaya yang punya blog ini hehehe. Lanjoottt
Setelah di arak sama Barong Kemiren kami disambut sama Penari Gandrung.


Setelah amazed sama cewe-cewe cantik yang berlenggak-lenggok, kami ngobrol sama emak tum, penyanyi dan penari gandrung. Gaes, beliau ini sudah jadi penyanyi gandrung dari umur 15 tahun. Yah bisa di kira-kira lah sekarang umurnya berapa ya hehehe
tinggal nunggu nate ruess trus nyanyi just give me a reason
Lanjut ke tarian berikutnya yaitu Jaran Goyang yang sudah terkenal dimana-mana. Cerita di balik Jaran Goyang itu adalah kisah cinta pemuda yang ditolak lalu dukun yang bertindak dan akhirnya si cewe ini pun luluh dan malah mengejar-ngejar si cowo, bagi si cewe ga ada cowo di dunia ini selain doi. Tapi si cowonya jual mahal. Si cewe akhirnya duduk berdiam diri, dia sedih cintanya tidak diterima, emang dasar wahai lelaki. Ending cerita mereka hidup bahagia selamanya ..
Ternyata di jaman milenial aka jaman now masih ada lho yang nyamperin mbah ocip (tetua desa kemiren) buat minta aji-aji jaran goyang buat balikan sama mantanlah, buat si gebetan luluh lah, hiyuuutt jaman sekarang ternyata masih ada. Tapi kata mbah ocip aji aji Jaran Goyang udah ngga boleh dipake lagi, karena emang ga normal, semuanya di butakan oleh satu cowo. Pengen boker kepikiran doi, laper kepikiran doi, ketemu dosen pembimbing kepikiran doi. Gua mah ogah..
Lanjot lagi ke Tari Barong, apa itu Tari Barong? Barong artinya barengan, maksudnya barengan itu mari kita bareng-bareng menjaga budaya. Makanya para penari beramai-ramai mengalungkan selendangnya ke penonton buat nari bareng-bareng aka buat menjaga budaya ini bareng-bareng.
ketauan yang mana yang doyan goyang
Ada lagi budaya yang seru di Desa Kemiren ini yaitu Ngopi Sepuluh Ewu, berawal dari kebiasaan dari warga desa yang suka ngopi barengan. Dengan slogan "sak ceret sak dulur" maksudnya itu satu teko satu sodara jadi tadinya yang ga kenal jadi kenal bahkan bisa dianggap sodara.. Menikmati kopi pahit Kemiren yang ga kerasa pahitnya karena ketemu sodara baru, bertukar pikiran, bertukar pendapat, merubah cara pikir dan sebagainya.. Oh indahnya keberagaman ini..

Terus diem-diem saya mikir, yaiyalah kalo rame-rame mikir berisik. Oke maaf jayus. Betapa kaya nya ragam adat dan budaya yang dimiliki Indonesia. Betapa banyaknya keunikan yang kita miliki, tapi kita tetep satu, ya Indonesia! Makanya suka sedih sama netizen-netizen yang ngga menghargai perbedaan padahal kan kita perbedaan yang satu. Secara tidak disadari, kita hidup di dalam perbedaan. Terima atau tidak terima perbedaan itu disekeliling kita, bukannya dengan perbedaan kita bisa saling melengkapi? Bukannya dengan perbedaan kamu bisa menutupi kekuranganku dan juga sebaliknya? ciyeh. Mulai detik ini saya cinta Desa Kemiren, saya cinta keberagaman adat dan budayanya. Mulai detik ini dan seterusnya saya akan lebih menghargai perbedaan, mulai detik ini dan seterusnya saya akan belajar terus menumbuhkan cinta sama negaraku, negara Indonesia. Jadi gaes, conclusionnya adalah traveling itu perlu, untuk menghargai perbedaan.

Muchos Love,
Sakinah

Sabtu, 28 Oktober 2017

Opening ADA Store di Grand CIty Surabaya

Hari ini, Jumat tanggal 27 Oktober 2017 aku dapet undangan nih dari ADA Store ke 3 di Surabaya setelah Marvell City sama Tunjungan Plaza Surabaya. Long story short, aku ketinggalan pemotongan pita sama baju-baju gratis di Store karena ternyata mereka memajukan run down acara. Iya, mereka bagi-bagi baju gratis buat 200 customer pertama yang dateng ke ADA. Sayang sekale bunggg!
Jadi nih, ADA Store ini sudah buka 76 Store di Indonesia dan store di Grand City adalah store ke 76. Aku pribadi sih sebelum masuk di Surabaya, sudah suka belanja ADA di Bogor karena memang dengan harga segitu dengan kualitas baju yang di dapet itu WAW gituloh hahaha. Apalagi buat ukuran mahasiswa. Tiap mau main, selalu bingung kesel ngga punya baju padahal lemari sudah se abrek. ADA selalu update sama fashion trends di Indonesia, apalagi konsep store yang chill, homey sama mbak-mbaknya yang ramah dan helpful. Ditahun 2016 dan 2017 ADA sudah berkembang pesat buat memenuhin kebutuhan pasar. ADA juga akan terus berekspansi buat nge make over ciwi-ciwi Indonesia dan juga cowo-cowo Indonesia.


 Apalagi baju cowo-cowonya, aku itu cewe yang suka pake baju cowo, ya biasanya cewe-cewe kan tinggal pinjem pacarnya.. Nah saya mah, mandiri ga mau pinjem-pinjem (padahal emang ga ada yang dipinjemi). Jadi niiiihhhhh, produk-produk ada itu selain murah, material rata-rata bajunya sangat wearable buat di Indonesia, meskipun itu sweaternya. Semua kalangan juga bisa belanja di ADA karena rate harganya dari Rp. 69.000 - Rp. 350.000. Semoga ADA selalu ada buat aku masyarakat Indonesia di tanggal-tanggal tua yaa.. hehehe

Segala Diantaranya

Waw, 2019 being quite hectic years ya.. a lot of things happened, people come and go.  Dari terakhir aku nulis di blog itu banyak banget...