Part I
Nusa Lembongan, Mei 2018
Mari
kukenalkan rombongan perjalanan ini dulu, beranggotakan 7 orang yang pertama
adalah Pak Kun, alasan perjalanan ini ada. Beliau bekerja di Museum Mpu
Tantular Jawa Timur di bidang koleksi yang sedang memiliki proyek Film
Dokumenter Pembuatan Daun Lontar. Daun Lontar yang bertuliskan Jawa Kuna dari
beberapa kitab Hindu yang kebanyakan pembuatannya berada di Bali. Bu Ari adalah
kolega Pak Kun yang secara otomatis teman baru bagi saya di perjalanan ini.
Lalu ada mas Wisnu dan Om Jack yang saya kenal dari Generasi Pesona Indonesia
Jawa Timur sekaligus pribadi yang saya kagumi dan saudara saya mba Yusa.
Berangkat
dari Surabaya jam 10 malam kita berangkat menuju Gili Ketapang, tiba jam
setengah 9 pagi di Pelabuhan Gili Manuk lalu menuju Sanur untuk menyebrang lagi
ke Nusa Lembongan. Tiba pukul 4 sore kami disambut Pak I Nyoman, seorang Mangku
setempat dan penulis daun lontar. Diantar menuju homestay untuk bersih diri
lalu kami diundang kerumahnya. Ternyata Pak Nyoman bukan hanya seorang Mangku,
beliau juga penggiat seni teater, dan topeng pernah diberikan penghargaan juga
oleh Gubernur Bali. Belum cukup disitu, rumah Pak Nyoman juga mengandung
sejarah. Pernah denger Omah Gala-Gala?
Jangan salah fokus gaes |
Rumah Gala-Gala adalah rumah bawah tanah yang di bangun oleh Made Byasa, kakek buyut dari Pak Nyoman. Rumah berukuran 500 m2 di bawah tanah memiliki 7 pintu masuk/keluar, 3 ventilasi, dilengkapi dengan sumur, 2 dapur, ruang keluarga, dan 2 ruang tidur di ujung rumah bawah tanah ini.
Begitu masuk ke Goa ini hawa dibawah tanah
sangat sejuk dan lembab, saya jadi keingat bagunan bawah tanah yang ada di
Turki yang terkenal itu. Selain itu juga ada patung Pak Made Byasa, pembuat
Gala-Gala ini berdiri dengan kokoh tidak jauh dari Goa tadi. Harga tiket masuk
turis lokal 10rb rupiah, berlaku 2x lipat untuk turis mancanegara.
Selesai dari kediaman Pak Nyoman kami mengejar matahari di pulau sebelah, Nusa Ceningan. Matahari Jingga ngga menampakkan warnanya karena kami salah spot hahaha. Ngga papa, untuk bertemu sore di tempat seperti itu juga keindahan. Singkat cerita kami pulang ke homestay untuk istirahat.
Selesai dari kediaman Pak Nyoman kami mengejar matahari di pulau sebelah, Nusa Ceningan. Matahari Jingga ngga menampakkan warnanya karena kami salah spot hahaha. Ngga papa, untuk bertemu sore di tempat seperti itu juga keindahan. Singkat cerita kami pulang ke homestay untuk istirahat.
Waktu kami
datang ke Nusa Lembongan, kebetulan ada yang baru saja meninggal dan akan
menyelenggarakan upacara Ngaben, satu lagi daya tarik wisata Bali yang membuat
saya selalu terkagum-kagum dengan pulau para Dewa ini. Ritual pertama yakni
kidungan (kalo dalam Islam seperti tahlilan), kidungan adalah pemujaan terhadap
dewa semalaman untuk mengantarkan jiwa yang sudah tiada menuju Nirwana. Menurut
kepercayaan Bali semua ritual bersumber dari filsafat untuk akhirnya dimaknai
(etika) dan dilaksanakan (upacara). Esoknya bambu berbentuk macan akan
dipersiapkan, diberi do'a-do'a untuk mengiringi jenazah. Macan kemudian diarak
diangkat banyak pemuda, para pemuda ini dikendalikan oleh spirit yang menuntun
menuju tempat pembakaran.
Sambil lalu saya ngomong ke Om Jack betapa panasnya jenazah itu dibakar, belum lagi nanti waktu di neraka. Om Jack jawab “ngga ada neraka di pemahaman mereka, upacara sedemikian rupa itu menandakan keluarga yang berduka mengantarkan jenazah ke nirwana tempat kedamaian dan kebahagiaan yang sempurna, seperti surga, tempat tertinggi yang dapat dicapai seseorang, tempat pencerahan yang berarti hasrat dan penderitaan individu hilang”. Saya terdiam, tersadar disetiap keadaan manusia selalu memposisikan cara pandang sebagai dirinya sendiri bukan cara pandang ‘mereka’. Ah, wawasan baru lagi dan ilmu baru lagi saya selalu bersyukur untuk itu.
Kembali mengejar matahari jingga, kami semua menuju Nusa
Ceningan dan mencari pemandangan dan ini yang kami temukan.
Dream Beach Nusa Lembongan |
By the way, iya-iya saya langsung teriak begitu liat yang bening-bening begini..
Malamnya karena kami harus take video untuk bersama pak
mangku dan pedanda jadi kami mempersiapkan diri dan semua peralatan di
homestay.
Pak Mangku yang berkidung dan pedanda Ida Bagus mengartikan
ke dalam bahasa Indonesia, kami mengangkat Bhineka Tunggal Ika dari Kitab Sutasoma.
Ada beberapa kutipan dari kitab ini
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Yang artinya adalah
Konon Buddha dan Siwa adalah zat yang berbeda
Mereka memang berbeda, namun bagaimana mereka dikenali?
Sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal
Kebenaran tidak ada dua dan kita sesungguhnya di dunia ini
tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain.
Suara yang dikidungkan begitu indah, pun pedanda
menerjemahkan dengan kata-kata indah, Kitab Sutasoma bisa dikatakan unik dalam
sejarah sastra Jawa karena merupakan satu-satunya kitab yang menceritakan
kepahlawanan yang bernafaskan agama Budha. Saya bisa menangis membaca
terjemahan sastra Jawa Sutasoma ini, suatu hal yang bahkan uang tidak bisa
mengganti nilai nya. Kitab Sutasoma ditemukan di Bali konon katanya ada yang
menyelamatkan kitab ini dari Jawa lalu disimpan, dirawat oleh orang-orang Bali.
Take video selesai jam 7 malam, karena besok kami akan pulang pagi-pagi sekali
sekalian kami berpamitan dengan keluarga Pak Mangku Nyoman.
Nusa Lembongan yang jauh dari hingar-bingar kota
Pulau kecil dengan sejuta cerita
Tidak ada bosan yang berani hinggap dipikiran selama di Lembongan
Jika rumah adalah tempat dimana hati tertinggalPulau kecil dengan sejuta cerita
Tidak ada bosan yang berani hinggap dipikiran selama di Lembongan
Sepertinya aku sudah menemukan rumah
Tabik,
Sakinah
ditunggu Part II dan Part III nya yaa
BalasHapus