Senin, 21 Mei 2018

Every Journey Has Their Own Story

Lanjutan dari Lembongan ada Kenangan


Part 2

Pagi pukul 06.30 kami sudah berada di Pantai Tanjung Sanghyang buat nyebrang kembali ke Sanur. Ceritanya sambil hunting sunrise, tapi seperti biasa.. aku yang bukan manusia pagi cuma bisa duduk lemas di badukan pinggir pantai sambil ngeliatin Om Jack nyari spot foto bagus untuk diabadikan. Kata orang-orang kalo aku sudah lemas begini, ada yang kurang sesajennya hahahaha. Ohya, kebetulan pedanda juga hendak balik ke rumahnya di Klungkung dan kami memang akan kearah sana menawarkan diri untuk mengantar pedanda sampai rumahnya.
Jam 10 kami tiba di kediaman pedande di Klungkung Bali, begitu masuk saya terpesona sama vibes rumah beliau adem, tentram dan sangat asri. Jalan pelataran rumah berbentuk setapak  penuh dengan kerikil halus, samping-samping jalan setapak rumput-rumput terpapas rapih di hiasi pot kokoh dengan bunga teratai menghiasi. Dari belakang kami mengikuti  pedanda untuk ngopi sebentar.
Pak Kun seperti biasa, membicarakan adat Jawa Kuna dan apa-apa yang ada di kitab Jawa Kuna bersama Pak Mangku juga pedanda, benar-benar hal baru buatku. Kedua mata tidak berhenti menikmati pemandangan sedamai ini, kedua telinga juga tidak berhenti mendengarkan. Ah, andai saja pedanda buka pondok pesantren dirumahnya sudah dijamin aku jadi santri pertama hahahaha.  
Setelah berbincang, menikmati secangkir kopi dan tertawa sebahagianya kami harus berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Kami mampir ke rumah makan khas Bali untuk mengisi perut yang sudah gaduh.


Seperangkat Sate Lilit masuk ke perut

Sesampainya di Pidpid Karangasem kami take video pembuatan daun lontar. Kami disuguhi tuak khas daerah setempat, warna airnya seperti air cucian beras dan berbau busuk, terbuat dari air kelapa yang difermentasikan, katanya kalo minum tuak efeknya segar di badan dan tentu saja sedikit mabuk kalo kebanyakan. Kembali ke pembuatan daun lontar,  dari daun yang hijau direbus untuk menghilangkan klorofilnya menggunakan rempah-rempah lada butir, garam, pala dan yang lainnya untuk mengawetkan daun juga.
 
Kitab Sutasoma yang ditulis di daun lontar, properti milik museum 
Setelah di rebus beberapa jam menggunakan tungku tradisional, lalu lontar di jemur 2 hari dan di press menggunakan balok kayu yang sudah di desain sendiri untuk pressing daun lontar. Proses pressing membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membentuk daun lontar yang lurus seperti kertas, namun karena mempersingkat waktu di pres semalaman saja kemudian lanjut ke proses selanjutnya. Proses selanjutnya adalah merapikan pinggiran-pinggiran daun, di serut agar bentuknya persegi panjang sempurna. Setelah itu daun lontar siap di pasarkan ke penulis-penulis Jawa Kuna. Per lembar di beri harga 3000-4000 rupiah ke penulis dan dari penulis biasanya di hitung tiap baris tulisan atau tiap kalimat. Satu lembarnya bisa mencapai jutaan ribu rupiah. Sayangnya di Jawa sudah tidak ada lagi penulis daun lontar, coba saja ada sudah aku bisniskan ini hehe.

 
 semua tim yang terlibat di pengambilan video dokumenter

Jam 4 sore kami tiba di tempat pengambilan video selanjutnya, masih di kawasan Karangasem, sekarang kami ke tempat pengambilan daun lontar dari pohonnya. Pohonnya tinggi-tinggi seperti pohon kelapa. Sebelum memanjat, melakukan tradisi berdoa dulu dan harus menggunakan kain bali. Setelah itu ditumbangkan satu persatu daun-daunnya lalu dijual deh. Di sekian kalinya kami harus berpamitan lagi dan perjalanan harus dilanjutkan

Perjalanan selanjutnya kami mencari penginapan, karena hari akan segera berganti malam. Penginapan rombongan ku terletak di sebrang Pantai Amed, begitu kendaraan berhenti di penginapan kami (om Jack, mas Wisnu, aku dan mba Yusa) ngga pantang pulang sebelum lelah hahahah. Kami memindahkan tas ke kamar lalu lanjut lagi melihat matahari terbenam, belum puas  juga setelah bersih-bersih diri kami kembali ke Pantai Amed untuk mencari bintang untuk diabadikan. Bagian ini selalu menjadi favorit saya, membaca rasi bintang dan memperhatikan apa apa saja diluar sana. Bagaimana kalau ternyata diluar sana juga ada kehidupan? Bagaimana kalau ternyata mereka juga melihat kita sebagai bintang seperti yang kita lihat? Ngga ada henti saya mengucap syukur.

nahan napas 30 detik beb

Menu makan malam hari ini sate ayam dan nasi plus pisang sambil ngobrol dan ketawa lagi sebahagianya. Beres makan saya menuju kamar sebelah, saya melihat mas Wisnu sedang asyik dengan laptop dan memori kamera berserakan di mejanya, lagi asyik memindah data dan membicarakan komposisi foto bareng om Jack dan mbak Yusa. Saya masuk nyelonong ke kasur yang masih rapi nan menggiurkan, ada buku berjudul “Menyelami ABC Kehidupan bersama Kahlil Gibran”. Iseng, saya membaca buku itu lalu om Jack nyeletuk “wahh, kamu kok baca buku ku? Pokoknya harus pinter menata diri aja kalo mau baca buku ku”, “wahh challenge accepted” batin saya. Di pertengahan buku saya sadar kalo ternyata penulisnya atheis, jadi buku ini seperti buku-buku filsafat. Buku yang mempelajari keindahan kehidupan dan kematian bahkan kehidupan setelah kematian (reinkarnasi, yang ditulis di buku ini). Jadi lah saya diskusi dan sedikit debat sama om Jack tentang kehebatan cara berpikir manusia sebenarnya. Yang menarik adalah pemikiran om Jack tentang hidup dengan berbagai perbedaan. Dunia ini bukan hanya hitam dan putih, tapi ada warna pelangi. Dengan kadar yang cukup dari masing-masing warna maka kamu akan paham bagaimana indahnya kehidupan dan juga bukan melulu kehidupan yang dibahas. Kematian adalah sesuatu yang misterius, sama seperti cahaya yang bersumber dari lampu lalu dari saklar kamu mematikan cahaya itu. Apakah itu berarti energi dari lampu juga ikut mati?
Hestek mind blown hestek boom.
Sesederhana itu om Jack menganalogikan kematian. Dibanding saya yang selalu memaknai semua yang terjadi. Terlalu rumit.  Kayanya emang selalu ada saja yang bisa dipetik di setiap perjalanan, bukan kemananya tapi lebih ke bersama siapanya.
Jadi gimana? Apa pemahamanmu tentang kematian?


Tabik,


Sakinah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala Diantaranya

Waw, 2019 being quite hectic years ya.. a lot of things happened, people come and go.  Dari terakhir aku nulis di blog itu banyak banget...