Part 2
Pagi pukul 06.30
kami sudah berada di Pantai Tanjung Sanghyang buat nyebrang kembali ke Sanur.
Ceritanya sambil hunting sunrise, tapi seperti biasa.. aku yang bukan manusia
pagi cuma bisa duduk lemas di badukan pinggir pantai sambil ngeliatin Om Jack
nyari spot foto bagus untuk diabadikan. Kata orang-orang kalo aku sudah lemas
begini, ada yang kurang sesajennya hahahaha. Ohya, kebetulan pedanda juga
hendak balik ke rumahnya di Klungkung dan kami memang akan kearah sana menawarkan diri untuk mengantar pedanda sampai rumahnya.
Jam 10 kami tiba di kediaman
pedande di Klungkung Bali, begitu masuk saya terpesona sama vibes rumah beliau
adem, tentram dan sangat asri. Jalan pelataran rumah berbentuk setapak penuh dengan kerikil halus, samping-samping
jalan setapak rumput-rumput terpapas rapih di hiasi pot kokoh dengan bunga
teratai menghiasi. Dari belakang kami mengikuti
pedanda untuk ngopi sebentar.
Pak Kun seperti
biasa, membicarakan adat Jawa Kuna dan apa-apa yang ada di kitab Jawa Kuna
bersama Pak Mangku juga pedanda, benar-benar hal baru buatku. Kedua mata tidak
berhenti menikmati pemandangan sedamai ini, kedua telinga juga tidak berhenti
mendengarkan. Ah, andai saja pedanda buka pondok pesantren dirumahnya sudah
dijamin aku jadi santri pertama hahahaha.
Seperangkat Sate Lilit masuk ke perut |
Sesampainya di Pidpid Karangasem kami take video pembuatan daun lontar. Kami
disuguhi tuak khas daerah setempat, warna airnya seperti air cucian beras dan
berbau busuk, terbuat dari air kelapa yang difermentasikan, katanya kalo minum
tuak efeknya segar di badan dan tentu saja sedikit mabuk kalo kebanyakan.
Kembali ke pembuatan daun lontar, dari
daun yang hijau direbus untuk menghilangkan klorofilnya menggunakan
rempah-rempah lada butir, garam, pala dan yang lainnya untuk mengawetkan daun
juga.
Setelah di rebus
beberapa jam menggunakan tungku tradisional, lalu lontar di jemur 2 hari dan di
press menggunakan balok kayu yang sudah di desain sendiri untuk pressing daun
lontar. Proses pressing membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membentuk daun
lontar yang lurus seperti kertas, namun karena mempersingkat waktu di pres
semalaman saja kemudian lanjut ke proses selanjutnya. Proses selanjutnya adalah
merapikan pinggiran-pinggiran daun, di serut agar bentuknya persegi panjang
sempurna. Setelah itu daun lontar siap di pasarkan ke penulis-penulis Jawa
Kuna. Per lembar di beri harga 3000-4000 rupiah ke penulis dan dari penulis
biasanya di hitung tiap baris tulisan atau tiap kalimat. Satu lembarnya bisa
mencapai jutaan ribu rupiah. Sayangnya di Jawa sudah tidak ada lagi penulis
daun lontar, coba saja ada sudah aku bisniskan ini hehe.
Jam 4 sore kami
tiba di tempat pengambilan video selanjutnya, masih di kawasan Karangasem,
sekarang kami ke tempat pengambilan daun lontar dari pohonnya. Pohonnya
tinggi-tinggi seperti pohon kelapa. Sebelum memanjat, melakukan tradisi berdoa
dulu dan harus menggunakan kain bali. Setelah itu ditumbangkan satu persatu
daun-daunnya lalu dijual deh. Di sekian kalinya kami harus berpamitan lagi dan
perjalanan harus dilanjutkan
Perjalanan selanjutnya kami mencari penginapan, karena hari akan segera berganti malam. Penginapan rombongan ku terletak di sebrang Pantai Amed, begitu kendaraan berhenti di penginapan kami (om Jack, mas Wisnu, aku dan mba Yusa) ngga pantang pulang sebelum lelah hahahah. Kami memindahkan tas ke kamar lalu lanjut lagi melihat matahari terbenam, belum puas juga setelah bersih-bersih diri kami kembali ke Pantai Amed untuk mencari bintang untuk diabadikan. Bagian ini selalu menjadi favorit saya, membaca rasi bintang dan memperhatikan apa apa saja diluar sana. Bagaimana kalau ternyata diluar sana juga ada kehidupan? Bagaimana kalau ternyata mereka juga melihat kita sebagai bintang seperti yang kita lihat? Ngga ada henti saya mengucap syukur.
nahan napas 30 detik beb |
Menu makan malam
hari ini sate ayam dan nasi plus pisang sambil ngobrol dan ketawa lagi
sebahagianya. Beres makan saya menuju kamar sebelah, saya melihat mas Wisnu
sedang asyik dengan laptop dan memori kamera berserakan di mejanya, lagi asyik
memindah data dan membicarakan komposisi foto bareng om Jack dan mbak Yusa.
Saya masuk nyelonong ke kasur yang masih rapi nan menggiurkan, ada buku
berjudul “Menyelami ABC Kehidupan bersama Kahlil Gibran”. Iseng, saya membaca
buku itu lalu om Jack nyeletuk “wahh, kamu kok baca buku ku? Pokoknya harus
pinter menata diri aja kalo mau baca buku ku”, “wahh challenge accepted” batin
saya. Di pertengahan buku saya sadar kalo ternyata penulisnya atheis, jadi buku
ini seperti buku-buku filsafat. Buku yang mempelajari keindahan kehidupan dan
kematian bahkan kehidupan setelah kematian (reinkarnasi, yang ditulis di buku
ini). Jadi lah saya diskusi dan sedikit debat sama om Jack tentang kehebatan cara
berpikir manusia sebenarnya. Yang menarik adalah pemikiran om Jack tentang
hidup dengan berbagai perbedaan. Dunia ini bukan hanya hitam dan putih, tapi
ada warna pelangi. Dengan kadar yang cukup dari masing-masing warna maka kamu
akan paham bagaimana indahnya kehidupan dan juga bukan melulu kehidupan yang
dibahas. Kematian adalah sesuatu yang misterius, sama seperti cahaya yang
bersumber dari lampu lalu dari saklar kamu mematikan cahaya itu. Apakah itu
berarti energi dari lampu juga ikut mati?
Hestek mind blown hestek boom.
Sesederhana itu om Jack
menganalogikan kematian. Dibanding saya yang selalu memaknai semua yang
terjadi. Terlalu rumit. Kayanya emang
selalu ada saja yang bisa dipetik di setiap perjalanan, bukan kemananya tapi
lebih ke bersama siapanya.
Jadi gimana? Apa pemahamanmu
tentang kematian?
Tabik,
Sakinah