Rabu, 27 Juni 2018

Semesta Belum Mengijinkan

Setelah sekian lama dinantikan, perjalanan panjang yang bikin kangen rumah akhirnya datang juga dipertemukan. Seperti biasa aku perkenalkan team perjalanan dulu, ada 6 orang, 3 cewe dan 3 cowo. Ada ambon, tacul, gadis, vivi dan satu teman yang belum pernah trekking panjang, wahyu. Tanggal 19 Juni 2018 tepat 03.30 pagi kami berangkat dari Surabaya ke tempat perijinan Gunung Buthak, yang terletak di daerah Batu Malang. Singkat cerita sampai di pos perijinan kami mengurus administrasi dan sebagainya, 08.30 pagi kami mulai trekking. Jalur pendakian terhitung landai tapi juga lumayan ada bonus nanjak. Sempet nyuri-nyuri tidur di setiap istirahat perjalanan saking capeknya karena normal perjalanan trekking dari pos pendakian menuju puncak adalah 12 jam.

Jejer kaya lagi antri BPJS

Kami semua yang belum tidur ini melakukan perjalanan panjang dengan semangat akan bayangan ngecamp di savanna ditiupkan angin yang membelai daun telinga. Jam 4sore , kabut mulai turun dan gerimis. Rombongan kami terpisah, 3 perempuan ini tertinggal di belakang sedangkan 3 rombongan lain berjanji mendirikan tenda duluan dan menyiapkan minuman hangat di savanna. Manusia merencanakan dan memang tuhan yang menentukan, hujan mulai deras dan kami yang mengaku perempuan waterproof memutuskan berhenti di pinggir vegetasi. Alhamdulillah diantara kami bertiga ada satu yang bawa jas hujan. Pinter kan? Naik gunung tapi pada ga bawa jas hujan. Satu mantel kelelawar untuk 3 orang cukup membuat lengan kemeja kami basah. Bukan hanya hujan, tapi suara angin yang berteriak dari jurang sebelah vegetasi membuat kami bangkit berjalan. Gadis sempet nyeletuk “Kita mati kalo diem disini terus”, akhirnya aku ngomong “Kita lanjut aja jalan, at least we die trying” tsaaah lebay banget kaya pilem 5milimeter. Lanjutlah kita jalan kaya main barongsai di rawa-rawa bertiga. 10 menit jalan hujan tambah deres, kabut mulai mengganggu penglihatan. Begitu liat tanah lapang, kami bertiga nekat mau bikin tenda darurat. Gadis mulai nurunin carrier nya, ga lama ada suara cowo teriakin nama vivi. Selagi vivi sama gadis bangun tenda, aku lari cari sumber suara tadi. Iya, hujan-hujanan dan becek-becekan. Sepatu udah kaya gayung kamar mandi penuh isi air. Samar-samar keluarlah 3 cowo-cowo ini dari kabut. Wahyu yang noob, basah kuyup, pinternya dia juga packing kering. Ambon bilang mending berhenti di  tanah lapang belakang, dan menghentikan perjalanan karena diatas kabut tebal plus badai. Bangun tenda cepet-cepetan, ngeresque tas karir, masang flysheet yang cuma punya 2 pasak  dan bikin teras tenda dari frame yang hampir patah. Bawa tenda 2 yang bisa di bangun cuma 1, 1 tenda untuk 3-4 orang ini di isi 6 orang. Waw, what a wonderful life. Di dalem tenda kedengeran jelas suara badai teriak-teriak, badan udah tremor, tulang linu semua. Kita nempel satu sama lain karena tendanya ngerembes. Waktu itu jam 6 sore, rasanya kaya udah kepengen cepet besok pagi, tiba-tiba udah kangen kasur rumah. Padahal jarang-jarang lagi main di hutan rindu kasur rumah. Jam 11 malem tiba-tiba semua senyap, akhirnya kami bisa bikin minuman hangat dan bikin makanan instan di lanjut tidur (sedikit) nyenyak.
Kabut yang dirindukan

Setengah tujuh pagi, berisik suara ambon dan gadis yang berantem masalah masak nasi. Cuaca cerah, Allah Maha Adil badai pasti berlalu dan besok akan baik-baik saja. Beberes bikin minuman hangat, kami menikmati makanan mewah; sayur sop, spaghetti Bolognese, bubur ayam, nugget, dan telor ceplok. Setelah malas-malasan dan menikmati sinar matahari akhirnya kami packing pulang, perjalanan ke puncak tidak bisa dipaksakan. Memang sedikit lagi kami sampai puncak, sedikit lagi juga kami hampir hilang tersesat atau bahkan hipotermia.

Sarapan mevvah

Satu pelajaran lagi kan di perjalanan? Tapi entah kenapa aku juga ngga menyesali, ngga kecewa, bersyukur aja masih bisa ngerasain dinginnya gunung, ngeliat pemandangan diatas awan, menikmati hangat sinar matahari yang gapernah dinikmati dibawah, yang paling penting, merindukan rumah. Toh, gunung Buthak ngga akan pindah.
Semakin jauh perjalanan yang kamu laluin, semakin banyak juga hal-hal yang kamu laluin semakin kamu ngerti bahwa rumah adalah sesuatu yang berharga. Baru ngeh ini pengalaman gabisa dibeli sama uang. Kalau sudah sama alam gabisa main-main. Ini tandanya semesta belum mengijinkan, berarti Gunung Buthak akan selalu dirindukan. Yang tadinya ngerasa this is never ending story (karena perjalanan yang berasa tanpa ujung) jadi happy ending story (karena kembali pulang dan cium tangan mama).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala Diantaranya

Waw, 2019 being quite hectic years ya.. a lot of things happened, people come and go.  Dari terakhir aku nulis di blog itu banyak banget...