Setelah sekian lama dinantikan,
perjalanan panjang yang bikin kangen rumah akhirnya datang juga dipertemukan. Seperti
biasa aku perkenalkan team perjalanan dulu, ada 6 orang, 3 cewe dan 3 cowo. Ada
ambon, tacul, gadis, vivi dan satu teman yang belum pernah trekking panjang,
wahyu. Tanggal 19 Juni 2018 tepat 03.30 pagi kami berangkat dari Surabaya ke
tempat perijinan Gunung Buthak, yang terletak di daerah Batu Malang. Singkat
cerita sampai di pos perijinan kami mengurus administrasi dan sebagainya, 08.30
pagi kami mulai trekking. Jalur pendakian terhitung landai tapi juga lumayan ada
bonus nanjak. Sempet nyuri-nyuri tidur di setiap istirahat perjalanan saking
capeknya karena normal perjalanan trekking dari pos pendakian menuju puncak
adalah 12 jam.
Jejer kaya lagi antri BPJS |
Kami semua yang belum tidur ini melakukan perjalanan panjang dengan semangat akan bayangan ngecamp di savanna ditiupkan angin yang membelai daun telinga. Jam 4sore , kabut mulai turun dan gerimis. Rombongan kami terpisah, 3 perempuan ini tertinggal di belakang sedangkan 3 rombongan lain berjanji mendirikan tenda duluan dan menyiapkan minuman hangat di savanna. Manusia merencanakan dan memang tuhan yang menentukan, hujan mulai deras dan kami yang mengaku perempuan waterproof memutuskan berhenti di pinggir vegetasi. Alhamdulillah diantara kami bertiga ada satu yang bawa jas hujan. Pinter kan? Naik gunung tapi pada ga bawa jas hujan. Satu mantel kelelawar untuk 3 orang cukup membuat lengan kemeja kami basah. Bukan hanya hujan, tapi suara angin yang berteriak dari jurang sebelah vegetasi membuat kami bangkit berjalan. Gadis sempet nyeletuk “Kita mati kalo diem disini terus”, akhirnya aku ngomong “Kita lanjut aja jalan, at least we die trying” tsaaah lebay banget kaya pilem 5milimeter. Lanjutlah kita jalan kaya main barongsai di rawa-rawa bertiga. 10 menit jalan hujan tambah deres, kabut mulai mengganggu penglihatan. Begitu liat tanah lapang, kami bertiga nekat mau bikin tenda darurat. Gadis mulai nurunin carrier nya, ga lama ada suara cowo teriakin nama vivi. Selagi vivi sama gadis bangun tenda, aku lari cari sumber suara tadi. Iya, hujan-hujanan dan becek-becekan. Sepatu udah kaya gayung kamar mandi penuh isi air. Samar-samar keluarlah 3 cowo-cowo ini dari kabut. Wahyu yang noob, basah kuyup, pinternya dia juga packing kering. Ambon bilang mending berhenti di tanah lapang belakang, dan menghentikan perjalanan karena diatas kabut tebal plus badai. Bangun tenda cepet-cepetan, ngeresque tas karir, masang flysheet yang cuma punya 2 pasak dan bikin teras tenda dari frame yang hampir patah. Bawa tenda 2 yang bisa di bangun cuma 1, 1 tenda untuk 3-4 orang ini di isi 6 orang. Waw, what a wonderful life. Di dalem tenda kedengeran jelas suara badai teriak-teriak, badan udah tremor, tulang linu semua. Kita nempel satu sama lain karena tendanya ngerembes. Waktu itu jam 6 sore, rasanya kaya udah kepengen cepet besok pagi, tiba-tiba udah kangen kasur rumah. Padahal jarang-jarang lagi main di hutan rindu kasur rumah. Jam 11 malem tiba-tiba semua senyap, akhirnya kami bisa bikin minuman hangat dan bikin makanan instan di lanjut tidur (sedikit) nyenyak.
Kabut yang dirindukan |
Setengah tujuh pagi, berisik suara
ambon dan gadis yang berantem masalah masak nasi. Cuaca cerah, Allah Maha Adil
badai pasti berlalu dan besok akan baik-baik saja. Beberes bikin minuman
hangat, kami menikmati makanan mewah; sayur sop, spaghetti Bolognese, bubur
ayam, nugget, dan telor ceplok. Setelah malas-malasan dan menikmati sinar
matahari akhirnya kami packing pulang, perjalanan ke puncak tidak bisa
dipaksakan. Memang sedikit lagi kami sampai puncak, sedikit lagi juga kami
hampir hilang tersesat atau bahkan hipotermia.
Sarapan mevvah |
Satu pelajaran lagi kan di
perjalanan? Tapi entah kenapa aku juga ngga menyesali, ngga kecewa, bersyukur aja
masih bisa ngerasain dinginnya gunung, ngeliat pemandangan diatas awan,
menikmati hangat sinar matahari yang gapernah dinikmati dibawah, yang paling
penting, merindukan rumah. Toh, gunung Buthak ngga akan pindah.
Semakin jauh perjalanan yang kamu
laluin, semakin banyak juga hal-hal yang kamu laluin semakin kamu ngerti bahwa
rumah adalah sesuatu yang berharga. Baru ngeh ini pengalaman gabisa dibeli sama
uang. Kalau sudah sama alam gabisa main-main. Ini tandanya semesta belum
mengijinkan, berarti Gunung Buthak akan selalu dirindukan. Yang tadinya ngerasa
this is never ending story (karena perjalanan yang berasa tanpa ujung) jadi happy
ending story (karena kembali pulang dan cium tangan mama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar